Puisi Moh. Rofqil Bazikh

Moh. Rofqil Bazikh merupakan mahasiswa Perbandingan Mazhab UIN Sunan Kalijaga dan bermukim di Garawiksa Institute Yogyakarta. Menulis puisi di pelbagai media cetak dan online antara lain; Tempo, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Tribun Jateng, Minggu Pagi, Merapi, Rakyat Sultra, Bali Pos, Harian Bhirawa, Duta Masyarakat, Lampung News, Analisa, Pos Bali, Banjarmasin Post, Malang Post, Radar Malang, Radar Banyuwangi, Radar Cirebon, Radar Madura, Cakra Bangsa, BMR Fox, Radar Jombang, Rakyat Sumbar, Radar Pagi, Kabar Madura, Takanta.id, Riau Pos, NusantaraNews, Mbludus.com, Galeri Buku Jakarta, Litera.co, KabarPesisir, Ideide.id, Asyikasyik.com, dll.

 

 

Molang Are*

 

dahimu yang lapuk, anakku, selalu kucium

bau kembang menusuk panjang

beserta doa-doa yang dibirkan lepas ke haribaan

alangkah menyenangkan. hidup bertahun

dengan nama-nama hari berkabung

tetapi kedatanganmu

perlahan menghapus dada mendung

 

ibumu, lurus berdiri di bibir pintu

senyumnya tidak lagi dibuat-buat

ini hari ketenangan, waktu kepedihan

tidak lagi berlesatan di halaman

 

bibirmu tanpa kupandu, anakku, selalu

menggurat kembang seribu

kembang dari warna merah sampai biru

dan kuciumi satu-satu

 

matamu mulai meraba-raba wajahku

seperti hendak berucap

;wajah ayah dan ibu bersatu

 

Yogyakarta, 2020

*perayaan hari kelahiran(Madura)

 

 

Biografi Akuarium

 

aku hanya meminjam gelembung nafas

mengembuskan sedikit demi sedikit

tertuju pada udara lengang dan seluruh

ikat kesepian dalam perutku

;setumpuk karang buatan

dan sebuah rumah bagi ikan

 

sementara sisik dan sirip berjatuhan

sepanjang hari dan kutatap

dengan mataku yang kaca

berkaca-kaca pula

serta, menimbulkan ledakan

lain di bagian kepala

 

kau berjalan sepanjang hari

tubuhku sebuah kotak

yang nyaris berukuran satu depa

ini terlalu sempit bagi kerumitan kita

katamu, sambil memungut nafas

dari udara yang licin

 

Yogyakarta, 2020

 

 

Migrasi Ombak

 

anjungan dermaga yang tumpul, Sophia

setiap subuh tiba, seekor kapal

menjemput matahari kedua di sini

meratakan warna putih yang tumbuh

di atas kepala ombak

 

zaman awal, ombak deras menghantam

apa saja yang ada di depan

hari semakin berjalan, tetapi kita

tidak pernah bertanya, kenapa ombak

perlahan lenyap dari permukaan

 

sebentang jembatan, Sophia, lurus

dari selatan ke utara

menusuk laut berkabut

 

tetapi kita tidak pernah berkabung

atas kepergian ombak

sebab jalan seperti ini selalu

menyenangkan untuk dilewati

 

Yogyakarta, 2020

 

 

Segitiga

 

1/

setelah terlampau jauh berjalan ke barat

tiada yang membuntuti, sekadar ekor ombak

sayup-sayup angin yang melata

atau bahkan deru mesin dari kapal

kapal yang menepi di dermaga

 

2/

di tanah yang jauh dan tidak

pernah kutemukan angin yang teduh

bahkan sekali-duakali hanya kecemasan

terus numpang lewat di halaman

;jarak tidak pernah menjanjikan apapun

 

3/

di hari kepulangan, entah tanggal

tahun dan detik keberapa

semua kukemas dan perlahan juga

menyambut matahari terjaga

kita hanya menduga-duga

garis keberuntungan paling rahasia

 

Yogyakarta, 2020

 

Related posts

Leave a Comment

sixteen + five =